ads
Krisis Otomotif Eropa dan Dampaknya pada Industri Nasional

Krisis Otomotif Eropa dan Dampaknya pada Industri Nasional

Smallest Font
Largest Font

Beritadata - Sejumlah perusahaan otomotif besar di Eropa menyatakan kekhawatirannya terhadap ancaman krisis yang melanda operasional bisnis mereka di kawasan tersebut. Hal ini terjadi di tengah penurunan permintaan untuk mobil listrik (EV).

Kekhawatiran ini muncul karena perusahaan otomotif yang beroperasi di Eropa akan menghadapi standar emisi yang lebih ketat mulai tahun depan. Diketahui bahwa batas rata-rata emisi Uni Eropa untuk penjualan kendaraan baru akan berkurang 15%, menjadi 93,6 gram CO2 per kilometer (g/km).

Jika perusahaan melebihi batas ini, mereka bisa dikenakan denda yang signifikan. Rico Luman, seorang ekonom senior di bidang transportasi dan logistik di bank Belanda ING, menyatakan bahwa produsen mobil Eropa memiliki banyak alasan untuk khawatir terhadap besarnya hukuman finansial yang mungkin dikenakan.

"Dendanya sebenarnya sangat besar. Jika dihitung, jumlahnya bisa mencapai jutaan euro, tergantung pada volume produksi mereka," kata Luman kepada CNBC melalui konferensi video pada Kamis (3/10).

Asosiasi Produsen Mobil Eropa (ACEA) menyatakan bahwa industri tersebut belum memiliki kondisi yang memadai untuk mendukung transisi menuju emisi nol. Selain itu, penjualan mobil listrik masih lemah karena terbatasnya pilihan model yang terjangkau, peluncuran infrastruktur pengisian daya yang lebih lambat dari yang diharapkan, serta potensi dampak tarif Eropa terhadap mobil listrik yang diproduksi di China.

"Oleh karena itu, produsen mobil Eropa yang tergabung dalam ACEA mendesak lembaga-lembaga Uni Eropa untuk segera mengambil langkah-langkah bantuan sebelum target emisi CO2 yang baru untuk mobil dan van mulai berlaku pada tahun 2025," kata ACEA dalam pernyataan resmi yang dirilis pada 19 September.

Tim McPhie, juru bicara Komisi Eropa, dalam konferensi pers akhir bulan lalu menyampaikan bahwa industri otomotif masih memiliki waktu 15 bulan untuk mematuhi target baru ini, seraya menambahkan bahwa "terlalu dini untuk berspekulasi" mengenai besaran denda yang akan dikenakan.

"Kami telah menyusun kebijakan ini sedemikian rupa agar industri memiliki kesempatan untuk menyesuaikan diri, sehingga keseluruhan ekosistem ekonomi juga mendapatkan waktu untuk beradaptasi. Namun, tentu saja, kami menyadari tantangan yang sedang dihadapi," ujar McPhie pada 24 September.

Sejauh ini, beberapa produsen seperti Volkswagen, BMW, Mercedes Benz, dan Ford masih berfokus pada pengembangan mobil hybrid. Pasalnya, jenis kendaraan ini masih cukup menguntungkan dalam jangka pendek.

"Dalam jangka panjang, mereka perlu bersaing dengan pemain baru dan merestrukturisasi organisasi mereka untuk melakukan transisi, meski dalam jangka pendek hal itu tidak terlalu menguntungkan," kata Luman dari ING.

Industri Otomotif Domestik Lesu

Menurut data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil nasional pada Agustus 2024 mencapai 76.304 unit, meningkat sebanyak 2.075 unit atau 2,79% dibandingkan penjualan pada Juli 2024 yang tercatat 74.229 unit.

Namun, secara tahunan, penjualan pada Agustus 2024 turun sebesar 12.624 unit dibandingkan Agustus 2023, yang artinya terjadi penurunan sebesar 14,19%.

Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu menilai bahwa lesunya kinerja industri otomotif nasional mencerminkan penurunan daya beli, yang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara-negara tujuan ekspor.

Di pasar domestik, ia menambahkan, daya beli masyarakat Indonesia belum sepenuhnya pulih akibat inflasi dan suku bunga yang membebani permintaan dan produksi mobil dalam negeri. Hambatan lain, menurutnya, adalah kebijakan perdagangan internasional, seperti tarif impor dan hambatan non-tarif, yang juga dapat memengaruhi kinerja ekspor mobil Indonesia.

Yannes memprediksi bahwa kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang saat ini mengalami tekanan akibat perlambatan ekonomi di pasar ekspor, serta maraknya impor legal dan ilegal, bisa berdampak pada sektor otomotif. 

"Penurunan produksi akibat lemahnya permintaan dapat memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran dan peningkatan pengangguran," ujar Yannes.

Tim Editor
Daisy Floren

Apa Reaksi Kamu?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow
ads

Paling Banyak Dilihat

ads
ads